Mimpi
dari Gunungan Sampah
“Emak ga mau anak-anak jadi pemulung kayak emak.
Anak-anak harus sekolah biar jadi orang sukses. Kalo anak-anak sukses Emak mau
berhenti ngorek di bulog. ”Sepenggal kalimat itulah yang terucap dari bibir Mak
Jupri (45) di sela-sela waktu luangnya sebelum berangkat bekerja. Jangan
bayangkan tempat dinasnya itu di dalam ruangan yang berpenyejuk seperti kantor
kebanyakan. Jangan pula membayangkan pekerjaan Mak yang berkutat di depan
komputer dengan urusan administrasi. Bukan itu. Wanita yang lebih dikenal
dengan nama anak sulungnya, Jupri, itu bekerja di lapangan terbuka. Tak kenal
cuaca. Terik matahari yang menyengat atau guyuran air yang tumpah dari langit,
kenyang sudah ia rasakan. Lahan pekerjaan yang digeluti Mak, benar-benar
‘lapangan’ sebenarnya. Untuk menjadi pekerja seperti Mak, tak membutuhkan
ijazah kursus mengetik komputer sepuluh jari, siapa pun bisa melakoninya. Asal
telaten, dan punya kemauan. Tugasnya pun juga sederhana. Ngorek dan nyobek, itu
istilahnya. Ngorek untuk pekerjaan mengais rongsokan di gunungan sampah. Hanya
memilah barang yang masih bisa dijual, seperti plastik kresek, besi, kardus,
atau botol. Sementara nyobek adalah pekerjaan memotong plastik kresek dalam
potongan kecil-kecil untuk dijual kembali ke penampungan. Ya, itulah pekerjaan
Mak Jupri sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST)
Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Mak Jupri adalah satu diantara kurang lebih
6000 pemulung yang bekerja di sekitar 300 lapak di lokasi itu. Bukan keinginan
Mak Jupri dan keluarga untuk menjadi pemulung di Bantar Gebang. Merasa tak
berkecukupan di kampung halamannya, Banten, Jawa Barat, mereka hijrah dengan
harapan kehidupan mereka semakin membaik dari sebelumnya. Sekitar tahun 1997,
Mak Jupri bersama suami pun meninggalkan kampung halamannya. Mereka membawa
serta anak-anaknya: Jupri, Supriyatno, Jono Pranoto, Yunita, Nurhaeni, dan yang
terakhir Akbar, lahir setelah pindah, kata Mak. Namun baru setahun pindah,
takdir berkata lain. Sang suami tewas tertabrak mobil, ketika menghadiri pesta
hajatan seorang kerabatnya di kampung. Harapan untuk hidup lebih layak sirna
seketika. Dan suratan takdir akhirnya menuntun Mak Jupri untuk bertahan menghidupi
dirinya dan keenam anaknya dengan menjalankan profesi sebagai pemulung. Apa
boleh buat, “saya melanjutkan memulung untuk menghidupi kebutuhan keluarga,”
kata Mak yang tak ingin anaknya kelak jadi pemulung seperti dirinya. Sebelum
itu, Mak Jupri tidak pernah diijinkan suaminya itu ikut bekerja. “Hanya bapak
saja yang kerja. Saya hanya momong anak,” kata Mak Jupri. Maka wajar jika beliau
mengalami shock dan kehilangan orientasi hidup selama setahun sejak kematian
suaminya. Namun, masa berkabung yang menyebabkan hidup jadi tidak tentu itu
perlahan hilang. Semangat Mak Jupri bangkit, demi menghidupi keenam anaknya
yang masih kecil.
Pagi itu, GIVING bertandang ke bedeng, tempat tinggal Mak
Jupri dan anak-anaknya yang tidak permanen di kawasan Bantargebang. Waktu
menunjuk pada angka Sembilan. Ia tengah bersiap untuk memulung. Sebelumnya, ia
sudah membereskan pekerjaan utamanya; mencuci baju dan memasak ala kadarnya.
“Kalau sudah selesai semua, baru ngorek,” kata Mak yang biasa pulang kerja
menjelang Maghrib ini. Mak Jupri sudah bersiap. Daster kumal motif cokelat,
disalin dengan blues hijau terang untuk melindungi kulit tubuhnya yang tak lagi
muda. Baju itu yang biasa Mak kenakan sehari-hari. Tak banyak pula bajunya,
hanya beberapa. Jumlahnya bisa dihitung jari. Tak lupa, topi caping lebar
dikenakannya untuk menangkis dari sengatan matahari di bulog (gunungan sampah).
Ditambah keranjang berdiameter setengah meter di punggung dan besi penjepit di
tangan. Lengkap sudah ‘seragam’ dinas Mak untuk bekerja menuju bulog yang
berjarak 20 menit dengan berjalan kaki dari rumahnya. Bersandal jepit, ia
menyelusuri jalan Bantargebang yang panas dan bau sampah yang menguap. Sesampainya
di gunungan sampah, Mak Jupri langsung larut dalam gunungan sampah dan mulai
bekerja dengan cekatan. Mesti begitu. Sebab, bila tidak, barang-barang yang
bernilai jual tinggi, bisa-bisa diserobot orang. “Kudu lincah. Kalo nggak, mah,
nggak dapet barang,” katanya menjelaskan. Dari hasil pekerjaannya mengaduk-aduk
sampah, Mak bisa menghasilkan Rp. 100 ribu sepekan. Biasanya, hasil sampah
harian itu disetor ke pengumpul. Dan Mak Jupri baru menerima upahnya seminggu
sekali. Dengan aliran penghasilan semacam itu, mau tidak mau, Mak Jupri
menerapkan strategi “gali lubang tutup lubang” untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. “Biasanya ngutang dulu di warung. Baru dibayar kalau
sudah dapat uang,” kata Mak sembari tersenyum. Kadang, ia menambahnya dengan
pekerjaan nyobek plastik sambil menunggu upah ngorek. Tiap satu kwintal hasil
sobekan kantung kresek, Mak Jupri mendapat upah Rp 20 ribu. Jumlah inilah yang
ditambah hasil ngorek yang digunakan untuk menyambung hidup dan biaya sekolah
dua anaknya, Nurhaeni dan Akbar yang masing-masing duduk di bangku kelas 3 dan
1 SMP. Belakangan, kian santer isu yang menyebutkan bahwa pihak pengelola TPST
Bantargebang akan membangun industri industri pengolahan dan pemilahan sampah
menjadi bijih plastik. Jika teralisasi, isu tersebut tentu saja akan kian
mengancam mata pencaharian dan penghasilan Mak Jupri. Tapi Mak Jupri memilih
istiqomah. Terus bekerja memeras keringat sebagaimana biasa. Lelah dan penat
kadang terobati. Karena, meski hidup terasa sulit, ia masih menyimpan kebanggan
melihat prestasi putri kelimanya, Nurhaeni yang langganan menjadi bintang kelas
di sekolahnya. Ketika ditanya kepada Mak Jupri, apa yang membuat Eni juara
kelas, ia hanya tersenyum bingung. ”Sekolah itu penting, jangan kayak emak,
bodoh begini,” kata Mak Jupri yang tidak pernah mengenyam bangku sekolahan. Di
hati Mak Jupri, kini terselip sebuah harapan bagi anak-anaknya. Ia ingin
melihat keenam anaknya menjadi orang sukses. Sehingga ia bisa berhenti mulung
dan nyobek lagi. “Kalo anak-anak sudah gede dan sukses, sih, maunya emak
istirahat mulung,” kata Mak percaya, satu hari itu akan tiba. Kelak. Entah
kapan. Yang jelas, Mak hanya ingin membuktikan, meski single parent dan tak pernah sekolah, anak-anaknya bisa sukses tak
seperti dirinya; ngorek dan nyobek sampah untuk menyambung hidup. ”Mak ingin
ngebuktiin anak-anak bisa sukses,” pungkasnya dengan mata yang mulai basah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar